Pulau Penyengat adalah sebuah pulau yang kecil yang terletak di Kecamatan Tanjung Pinang. Dengan luas yang tidak lebih dari 3,50 Km, pulau ini memiliki relief yang berbukit-bukit. Untuk mencapai daerah ini bisa melalui jalur udara dan air. Tapi tak jarang para pelancong dalam maupun luar negeri yang memilih untuk melewati jalur udara dan singgah di Kota Batam untuk berbelanja dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Tanjung Pinang dengan kapal yang memakan waktu lebih kurang 45 menit.
Dari pelabuhan Tanjung Pinang kembali menggunakan perahu kecil yang menggunakan mesin genset untuk menyebrang ke Pulau Penyengat sekitar 10-15 menit perjalanan.
Menurut cerita, pulau ini sudah lama dikenal oleh para pelaut sejak berabad-abad yang lalu karena menjadi tempat persinggahan untuk mengambil air tawar yang banyak tersedia di pulau ini. Asal nama penyengat sendiri memiliki history yakni pernah ketika pelaut-pelaut yang sedang mengambil air bersih di tempat itu diserang oleh semacam lebah yang dipanggil “penyengat” hingga membawa korban. Sejak peristiwa itu pulau ini terkenal dengan panggilan Pulau Penyengat.
Penyengat menyimpan banyak sejarah. Terutama bagi perkembangan sejarah kerajaan melayu yang ada di Riau. Letaknya yang strategis untuk pertahanan negeri Riau, Pulau Penyengat telah berkali-kali menjadi medan pertempuran, termasuk perang Riau dengan Belanda. Benteng-bentang pertahanan yang bergaya ala Portugis masih dapat dilihat hingga sekarang meskipun beberapa bentuknya tidak utuh.
Beberapa situs sejarah yang masih dapat ditemui di Pulau Penyengat yakni :
a. Mesjid Pulau Penyengat
Mesjid ini memiliki keunikan tersendiri, yakni penggunan putih telur sebagai campuran kapur untuk memperkuat beton kubah menara dan bagian tertentu dari mesjid. Terdiri dari 4 buah tiang beton dan pada tiap-tiap penjuru dibangun menara tempat bilal mengumandangkan azan. Terdapat juga 13 buah kubah, dan jika dijumlahkan dengan 4 menara tersebut diatas maka berjumlah 17 yang memiliki makna banyak raka’at sholat wajib bagi umat islam.
Di dalam mesjid terdapat beberapa peninggalan sejarah, salah satunya Alqur’an yang sudah tua, serta mimbar yang masih terlihat kokoh. Sedangkan di luar mesjid terdapat bangunan yang khusus di bangun untuk tempat istirahat atau “ngobrol” bagi jemaah yang sedang menunggu waktu sholat, sehingga ketika sudah berada di dalam mesjid tidak ada lagi yang mengeluarkan suara.
b. Makam Engku Puteri Permaisuri Sultah Mahmud
Makam Engku Puteri terletak di daerah yang disebut “Dalam Besar”. Pusaranya dikelilingi tembok. Di tengah-tengah tembok terdiri dari sebuah bangunan dan makam Engku Puteri terdapat di dalam bangunan tersebut. Di komplek makam Engku Puteri di temui pula makam tokoh-tokoh kerajaan di Riau, seperti makam Raja Haji Abdullah (Marhum Mursyid, Yang dipertuan Muda Riau-Lingga IX) , makam Raja Ali Haji (pujangga Riau), dan makam kerabat-kerabat Engku Puteri lainnya.
Engku Puteri memiliki nama asli Raja Hamidah adalah Putri Raja Haji yang terkenal dalam sejarah Riau-Lingga, Johor dan Pahang. Raja Hamidah kemudian menjadi permaisuri Sultan Mahmud dan dihadiahkan Pulau Penyengat sebagai mahar perkawinan mereka. Engku Puteri pada masanya merupakan wanita yang memiliki pengaruh besar dalam silsilah kerajaan melayu. Ia menjadi orang yang dipercaya untuk mengesahkan kependudukan seorang Raja di kerajaan melayu sekitar Riau-Lingga, Johor dan Pahang.
c. Bekas Istana Raja Haji Ali Marhum Kantor
Komplek bekas istana Marhum Kantor ini hampir sebesar lapangan sepak bola. Terlihat dari luar gedung, bangunan ini dikelilingi tembok.
d. Makam Marhum Kampung Bulang
Makam Marhum Kampung Bulang ( Raja Abdul Rahman Yang dipertuan Muda ke VII) terletak pada sebuah lereng bukit beberapa ratus meter di belakang mesjid Pulau Penyengat. Makam ini dikelilingi dengan tembok yang memiliki ukiran timbul. Bukit tempat makam Raja Abdul Rahman itu sendiri hingga saat ini di kenal dengan Bukit Kursi.
e. Gudang Mesiu atau Gudang Obat Bedil
Bangunan yang tidak seberapa besar ini masih terlihat utuh dan telah dilakukan pemugaran. Bangunan beton berdinding t ebal ini dijadikan tempat penyimpanan mesiu dan obat bedil.
f. 12 Kubu (Benteng dan Parit-parit Pertahanan)
Pusat perbentengan ini terletak di Bukit Kursi dan di Penggawa. Benteng yang langsung menghadap Teluk Riau ini dilindungi oleh parit-parit pertahanan. Konstruksi benteng ini sangat sempurna dan merupakan peninggalan terbaik untuk mempelajari sistem pertahanan di abad ke-18. Pada mulanya di benteng-benteng ini terdapat lebih kurang 90 pucuk meriam berukuran cukup besar. Namun yang tertinggal hanya 4 benteng di Bukit Kursi, konon yang selebihnya telah diangkut ke Singapura, dijual sebagai besi tua oleh Pemerintahan Belanda dan sebagian lagi dibawa ke Tanjung Pinang sebagai hiasan pinggir-pinggir jalan dan sekitar kantor Pemerintahan.
Di Pulau Penyengat juga terdapat situs budaya rumah adat melayu Kepulauan Riau. Bangunan ini telah mengalami pemugaran. Bagian yang unik dari rumah adalah pada atap terdapat ornamen berbentuk tiang lurus yang dimaknai sebagai “alif” dalam agama islam. Untuk mengelilingi Pulau Penyengat dapat dilakukan dengan berjalan kaki atau menggunakan fasilitas becak motor. Hanya dengan membayar sekitar 20 ribu rupiah, dapat berkeliling Pulau Penyengat untuk melihat situs sejarah dan sambil melihat kehidupan berbudaya masyarakat tempatan.
Selain Pulau Penyengat, di sekitar wilayah Kota Tanjung Pinang yang terletak di Pulau Bintan ini, terdapat situs sejarah sungai Carang dan makam Daeng Marewah (Marhum Mangkat di Sungai Baru). Menurut sejarahnya, sungai carang merupakan asal muasal pemberian nama negeri Riau dimana pada masanya sungai ini bernama Riuh atau rioh yang berarti ramai atau ribut.
Di bagian darat kota Tanjung Pinang juga dapat di temui makam Daeng Celak (Marhum Mangat di Kola). Kedua daeng ini berasal dari Pulau Sulawesi dan memiliki hubungan kerajaan dengan Riau-Lingga, sehingga keduanya di pertuan muda karena telah menaklukkan daerah yang ada di tempat itu. Terdapat juga bangunan museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Bagian depan museum terpajang 4 kepala patung pembesar di Tanjung Pinang, patung meriam, dan lukisan yang menggambarkan suasana peperangan Raja Haji dengan Belanda di teluk Riau. Sedangkan di dalam gedung terdapat peninggalan-peninggalan kerajaan melayu Riau-Lingga, foto-foto bersejarah, ornamen pernikahan adat melayu, pakaian adat hingga 3 pasang patung yang menjadi penduduk dan memiliki sejarah di kota Tanjung Pinang, yakni etnis Melayu, China, dan Orang Keling.